Selamat Datang di Laman Lentera Kehidupan

Selamat Datang di Laman Lentera Kehidupan

PENTINGNYA LITERASI DI LINGKUNGAN PENDIDIKAN




Oleh: Khairul Azan

Berbicara literasi sebernarnya luas sekali. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini saya ingin membatasi literasi yang kita bahas hanya seputar * membaca dan menulis*.
Sebelum membahas lebih jauh, dalam kesemptan ini saya ingin mencoba memaparkan terlebih dahulu kondisi literasi di negeri kita tercinta ini. Mengutip laporan Kemendikbud tahun 2019 mencatat bahwa Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) di Indonesia masih dikategorikan rendah. Kegiatan literasi dipengaruhi beberapa faktor. Mereka adalah kecakapan, akses, alternatif, dan budaya. Kategori Indeks Alibaca terbagi atas lima kategori, yakni sangat rendah (0-20,00), rendah (20,01-40,00), sedang (40,01-60,00), tinggi (60,01-80,00), dan sangat tinggi (80,01-100).  (https://databoks.katadata.co.id)

Sementara itu, laporan UNESCO pada tahun 2016 juga mencatat bahwa berdasarkan Negara, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Minat baca Indonesia berada di peringkat 60, hanya satu tingkat di atas *Botswana*, salah satu negara di *Afrika* yang berada di peringkat 61. (https://ekbis.sindonews.com)

Data lain juga menunjukkan hal yang sama. Seperti penelitian yang dilakukan *CCSU* merilis peringkat literasi negara-negara dunia pada Maret 2016. Pemeringkatan perilaku literasi ini dibuat berdasar lima indikator kesehatan literasi negara, yakni perpustakaan, surat kabar, pendidikan, dan ketersediaan komputer. Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia masih unggul dari satu negara, yakni *Botswana* yang berada di kerak peringkat literasi ini. Nomor satu ada *Finlandia*, disusul *Norwegia, Islandia, Denmark, Swedia, Swiss, AS, dan Jerman*. *Korea Selatan* dapat ranking 22, *Jepang* ada pada ranking 32, dan *Singapura* berada di peringkat ke-36. *Malaysia* ada di barisan ke-53. (https://news.detik.com)

Merujuk pada data di atas, maka sangat jelas sekali tingkat literasi di Indonesia masih jauh tertinggal dengan Negara-negara lain. Lalu muncul pertanyaan! Apa sebenarnya yang dimasud dengan literasi? Merujuk pada pendapat  yang ada, literasi dimaknai sebagai melek membaca, menulis dan numerik. (Priyatni, 2017: 157).

Lebih lanjut menurut KBBI, literasi adalah 1) kemampuan menulis dan membaca, 2) pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu, 3) kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. (2005: 598).

Dari penjelasan di atas dapat dipahami seperti batasan yang saya sampaikan sebelumnya bahwa literasi adalah sesuatu yang berhubungan dengan membaca dan menulis. Lalu muncul lagi pertanyaan! Apa pentingnya literasi (membaca dan menulis) di lingkungan pendidikan? Maka saya akan menjawab sangat penting.

Pendidikan disini kita akan bahas menjadi tiga jalur, pendidikan formal di sekolah, informal di keluarga dan non formal di masyarakat. Apapun jalurnya tujuan pendidikan adalah merubah cara pandang sesorang dalam memandang sesuatu. Yang tadinya tidak bisa menjadi bisa. Perubahan cara pandang akan berimplikasi pada perilaku dan tindakan. Perubahan perilaku dan tindakan karena dampak dari ilmu yang dipelajari dan dipahami. Nah, berbicara sumber ilmu, maka bukan hanya guru sebagai sumber ilmu. Sumber ilmu itu sangat luas sekali. Salah satunya adalah buku. Agar berilmu rajinlah membaca. Sehingga wawasan menjadi luas bukan hanya sebatas ukuran kelas. Tapi lebih luas. Inilah disebut dalam kata-kata mutiara *membaca jendela dunia*.

Dari data di atas, kita bisa lihat bahwa pada julur pendidikan formal mengapa *Finlandia* terkenal dengan mutu pendidikannya ternyata tingkat literasinya juga tinggi. Jangan jauh-jauh *Malaysia* saja yang berada pada urutan 53 masih unggul dibandingkan *Indonesia*. Suatu kewajaran bahwa fakta menunjutkkan dulu orang *Malaysia* berbondong-bondong menunutut ilmu di negeri kita ini, tapi sekarang justru kita berbondong untuk menuntut ilmu di *Malaysia*. Ternyata jika ditelusuri mengapa sistem pendidikan dan mutunya makin membaik kuncinya pada literasi mereka yang makin tinggi. Lalu bagaimana dengan kita? Bisa dijawab sendiri.

Selain itu, jika  dihubungkan dengan pendidikan pada julur informal dan non formal lalu kaitannya dengan literasi juga berbeda. Sebagai contoh, lagi-lagi *Finlandia*. Saya pernah membaca sebuah buku yang ditulis oleh *Dr. Ratih D. Adiputri* berjudul *Sistem Pendidikan Finlandia: Catatan dan Pengalaman Seorang Ibu*. Beliau adalah peneliti *post-doc* bidang ilmu politik di Universitas Jyvaskyla (Finlandia). Setelah membaca buku tersebut saya menemukan sesuatu yang membuat saya menganggukkan kepala sebagai bentuk pembenaran atas apa yang ditulis tentang alasan mengapa *Finlandia* sebagai negara dengan mutu pendidikan terbaik. Salah satu alasannya adalah literasi pada masyarakat dan orang tua sangat tinggi. Khsususnya membaca. Di Finlandia membaca menjadi suatu budaya dan didukung oleh pemerintah dengan cara memberikan kemudahan dalam mengakses referensi, kemudahan dalam meminjam buku diperpustakaan dan fasilitas literasi yang lainnya. Jadi wajarlah Negara tersebut seperti itu. Itu artinya literasi sangat berperan di lingkungan  pendidikan.

Selanjutnya menulis sebagai bagian dari literasi. Manusia yang terdidik baik dari lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat akan membentuk manusia yang banyak pengalaman. Karena pada hakikatnya pendidikan itu seperti yang dijelaskan *John Dewey* adalah pengalaman. Orang yang berpengalaman memiliki catatan kehidupan yang terkumpul di memorinya, lalu berwujud pada perilaku dan tidakannya. Sangat disayangkan sekiranya pengalaman yang dimiliki tersebut tidak ditulis. Pengalamannya hanya akan bermanfaat bagi dirinya sendiri, ketika mati maka hilanglah manfaatnya. Berbeda ketika ditulis, pengalaman akan menyebar luas menembus telinga-telinga yang tuli dan tak lekang ditelan zaman yang membuatnya mati. Maka ungkapan *Sayyid Quthb* yang mengatakan *satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu tulisan akan menembus ribuan kepala* benar sekali.

Menulis adalah mewariskan ilmu. Menulis adalah regenerasi ilmu. Orang yang membaca karena ada yang dibaca. Bacaan ada karena ada orang yang menulisnya. Oleh karena itu, saatnyalah, siswa, guru, mahasiswa dan dosen menjadi menulis sebagai budaya. Dengan menulis akan mempermudah orang mencari referensi untuk dibaca. Dengan menulis akan mengalir pahala-pahala.

Suatu budaya tercipta dari pembiasaan. Pembiasaan akan menjadi suatu kebutuhan. Orang yang butuh maka ia akan merasa ketergantungan. Begitu juga dengan membaca dan menulis. Agar menjadi budaya maka perlu dibiasakan. Pembiasan itu jika dalam konteks jalur pendidikan berawal dari keluarga, sekolah dan masyarakat.

*Wallahualam*

Gambar: Kompas

No comments

Powered by Blogger.