NIKMATI KOPINYA BUKAN CANGKIRNYA
Oleh Khairul
Azan
Pada suatu hari ada seorang pengusaha sukses yang
kaya raya menjumpai seorang ustadz. Pengusaha tersebut ingin berkonsultasi
terkait kehidupannya yang serba bergelimang harta namun sepertinya tidak menemukan
kedamaian dan kebahagiaan. Berbeda dengan ustadz yang ditemuinya, kehidupannya
seperti langit dan bumi jika dibandingkan dengan pengusaha suskses tersebut.
Kehidupan sang ustadz sangat sederhana, kehidupannya ditopang oleh alam dengan cara
berkembun untuk memenuhi kebutuhan hidup. Rumahnya terbuat kayu yang berbentuk
rumah panggung sebagai ciri khas orang Melayu. Namun kehidupannya sangat damai
dan sepertinya begitu bahagia. Karena alasan itulah si pengusaha suskes itu
ingin meminta nasihat terkait jurus jitu bagaimana sang ustadz bisa meraih itu
semua.
Mereka kebetulan tinggal satu kampung dengan jarak
rumah yang tidak terlalu jauh. Sesampainya di rumah sang Ustadz, ia
dipersilahkan untuk naik ke rumah dan mereka duduk di ruang tamu. Sang Ustadz
meminta istrinya membuatkan dua cangkir kopi untuk menemani pembicaraan.
Pengusaha sukses itu mengutarakan maksud
kedatangannya dan berharap menemukan solusi terkait masalah kehidupannya dan
keluarganya.
Sang Ustadz meminta si pengusaha sukses itu untuk
mencerikan bagaimana pola hidup yang dijalani dalam keluarganya. Tanpa segan si
pengusaha bercerita panjang lebar, dimulai dengan pernyataan bahwa dia memiliki
harta yang banyak, apapun yang dinginkan tinggal dibeli tanpa berfikir panjang.
Anak istrinya hidup dalam keadaan glamor,
jika tetangga membeli mobil baru maka istrinya juga ingin dibelikan
mobil baru dan tinggal dipesan. Anaknya juga seperti itu, dan tak terkecuali si
pengusaha sukses itu juga sama. Sehingga bisa dikatakan apapun yang dinginkan
dalam dunia ini pasti bisa diwujudkan kecuali membeli nyawa. Dia berkata telah
memiliki segalanya namun ia tak merasakan damai dan bahagia.
Setelah mendengarkan si pengusaha itu bercerita
panjang lebar, tibalah saatnya sang Ustadz untuk memberikan penjelasan
bagaimana damai dan bahagia itu bisa ditemukan. Sebelum itu sang Ustadz
mempersilahkan terlebih dahulu kepada si pengusaha untuk mencicipi secangkir
kopi yag dibuat olah sang istri. Sang Ustadz bertanya “bagaimana kopinya pak?”
lalu dijawab oleh pengusaha itu nikmat sekali. Sungguh beruntung Ustadz punya
istri yang bisa membuat kopi senikmat ini. Alhamdulillah, terimakasih, ucap
sang Ustadz. Bapak tahu rumus damai dan bahagia itu seperti secangkir kopi.
Bapak rasakan kopi itu sangat nikmat tanpa Bapak melihat cangkir yang digunakan
oleh istri saya sebagai tempat kopi itu sangatlah sederhana dan terkesan murah.
Damai dan bahagia itu juga seperti itu pak. Yang perlu Bapak nikmati itu
kopinya bukan cangkirnya.
Tapi dalam kehidupan ini kita selalu keliru
menganggap kopi yang nikmat itu karena kemasan dan cangkirnya yang terlihat
indah dan mewah sementara Bapak lupa menikmat kopi yang sesungguhnya yang harus
dirasa. Kita sibuk mencari harta karena menganggap harta adalah kunci kedamaian
dan kebahagiaan. Kita sibuk bersaing dengan tetangga dan tak mau kalah.
Kopi itu adalah kehidupan itu sendiri, sementara
cangkirnya adalah alat yang digunakan untuk menikmati kopi kehidupan. Kopi akan
terasa nikmat ketika Bapak menikmati kopinya bukan cangkirnya. Jangan terbalik.
Ketika terbalik maka disitulah Bapak tidak akan temukan kedamaian dan
kebahagiaan meski Bapak merasa semua telah tercukupkan. Karena damai dan
bahagia dalam hidup itu sangat sederhana. Kita tidak perlu bersaing dengan
orang lain agar kita bahagia. Karena bahagia itu sumbernya dari diri sendiri
bukan pada orang lain, dan itu berawal dari cara pandang kita memaknai
kehidupan.
Semoga
bermanfaat.
Jambi, 13
Desember 2019
No comments
Post a Comment