JEJAK SANG MAHASISWA 1 : DEMI SEBUAH CITA-CITA
Oleh
Khairul
Azan
(Dosen STAIN Bengkalis & Ketua DPD GAMa Riau Kabupaten Bengkalis)
Aku bukanlah dari keluarga
terpandang, aku hidup bersama keluarga di desa yang orang kebanyakan mengatakan
desaku masih terbilang plosok alias jauh dari keramaian. Aku adalah anak ketiga
dari empat bersaudara yang keempat-empatnya adalah lelaki semua. Keluargaku bukanlah
seorang pegawai negeri sebagaimana anak-anak di luar sana yang pengahasilan
orang tuanya telah dijamin oleh pemerintah, melainkan keluargaku adalah seorang
petani yang kehidupannya sangat bergantung pada kebaikan alam.
Semasa kecil
aku sangat berbeda dengan anak-anak seumurku pada umumnya. Disaat mereka
bermain sebelum berangkat ke sekolah namun aku harus bekerja membantu keluarga.
Meski tidak seratus persen, namun tetap aku tidak mau berpangku tangan untuk
meminta biaya sekolah kepada orang tua begitu saja. Ini ku jalani ketika mulai
memasuki sekolah menengah pertama disalah satu Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang
ada di dekat desaku. Sekolah ini merupakan Yayasan yang didirikan oleh warga
setempat dalam rangka memberikan ruang kepada anak-anak agar tetap mengenyam
pendidikan. Sekolah ini pun beroprasi tidak sama dengan sekolah negeri atau
swasta lain pada umumnya. Jika sekolah lain itu aktivitas belajar mengajar
dilakukan pada pagi hari namun sekolahku ini dilakukan pada siang hari, dari
pukul satu hingga pukul lima sore. Ini disebabkan karena memang rata-rata guru
yang mengajar di sekolahku adalah guru-guru negeri yang paginya mengajar di sekolahnya
masing-masing dan sorenya diperbantukan untuk mengajar di MTs yang dimaksud.
Tentunya ini
adalah peluang bagiku untuk menambah uang sekolah sebagai bekal untuk terus
bersekolah. Sebelum berangkat ke sekolah aku ikut paman untuk masuk kehutan
untuk mencari uang tambahan dengan menebang pohon lalu dijual. Memang terasa
berat namun itu harus dilakukan agar sekolahku tidak putus di tengah jalan. Aku
tidak tega jika memaksa orang tua untuk mencukupi segala kebutuhan sekolahku. Sekali
lagi karena orang tuaku bukanlah orang kaya yang punya harta berlimpah.
Aku dulu
punya cita-cita suatu saat aku harus menjadi orang yang berjaya. Tidak masalah
mau berasal dari desa yang kata orang plosok namun aku yakin sukses itu tak
mengenal tempat tinggal atau asal kita dari mana, selagi ada kemauan pasti
disitu ada jalan. Tuhan telah memberikan ruang kepada hambanya yang mau
berusaha. Sehingga semua kembali kepada kita, apakah ingin berjaya atau
sebaliknya.
Kami dari
empat bersaudara alhamdulillah dianuggrahkan Tuhan dengan tingkat kecerdasan
sedikit lebih dari anak-anak lain pada umumnya. Bahkan kakakku yang paling tua
dua kali mendapatkan tawaran beasiswa dari UGM sebagai bentuk prestasi
akademiknya di sekolah, namun itu terkubur karena pada saat itu rasanya untuk
berangakat ke Jawa jauhnya luar biasa. Sehingga orang tuaku pun tidak
mengizinkan. Begitu juga dengan kakak ku yang nomor dua, dia sangat pintar,
kepintarannya itu bukan karena melalui pendidikan formal yang ditempuhnya melainkan
sesuatu yang diperoleh secara otodidak. Ia ahli dibidang permesinan. Namun sekali
lagi cita-citanya terkubur karena ia ingin melanjutkan pendidikan ke ITB namun orang
tua tidak mengizinkan karena faktor ekonomi keluarga yang morat marit.
Berkaca dari
pengalaman kedua saudaraku tersebut, sehingga muncul motivasi yang begitu
tinggi aku tidak mau seperti kakak-kakak ku sebelumnya. Semuanya punya prestasi
namun sekali lagi kalau sudah berbicara uang pasti kalah. Oleh karena itu, disamping
sekolah aku juga harus bekerja. Bahkan itu berlanjut hingga aku melanjutkan ke
jenjang yang lebih tinggi di Madrasah Aliyah (MA) pada Yayasan yang sama,
karena kebutulan Yayasan tersebut ada MTs dan MA nya. Bekerja lebih keras lagi harus
dilakukan, apalagi aku sadar bahwa hanya tiga tahun untuk menempuh pendidikan
menengah atas di MA yang dimaksud. Itu artinya pilihan untuk melanjutkan
kejenjang pendidikan sudah dekat. Jika tidak ada uang tentunya ini akan menjadi
masalah besar dan sekali lagi akan menjadi penghambat.
Singkat cerita
akhirnya aku bisa menamatkan pendidikan di MA tempatku bersekolah. Akupun
memilih untuk melanjutkan pendidikan S1 disalah satu perguruan tinggi yang ada
di Pekanbaru sebagai ibu kota provinsi. Alhamdullah dengan segenap rayuan dan
keuangan yang seadanya keluargaku tidak keberatan. Melalui serangkaian tes akupun
lulus dan terdaftar sebagai mahasiswa di perguruan tinggi yang dimaksud yaitu
UIN Suska Riau pada program studi Manajamen Pendidikan Islam melalui jalur
mandiri atau lokal.
Terdaftarnya
aku di perguruan tinggi memancarkan cahaya kebahagiaan tak terhingga bagi
keluargaku, mata Ibu dan Ayah berkaca-kaca, begitu juga dengan kakakku. Itu menandakan
rasa bahagia mendengar anaknya atau adiknya bisa kuliah. Karena memang pada
saat itu aku adalah satu-satunya anak desa yang melanjutkan pendidikan hingga
perguruan tinggi meski kami bukanlah keluarga yang berada. Bahkan dalam
struktur keluargapun aku adalah anak yang pertama kali bisa mengenyam
pendidikan tinggi. Bahkan sebagian masyarakat desa tidak percaya bahwa aku bisa
kuliah. Banyak hal yang membuat mereka tidak percaya, mulai dari perekonomian
keluarga yang tidak mendukung hingga budaya keluarga yang tertutup juga menjadi
faktor. Karena pada saat itu memang jika ingin kuliah memang sulit hanya
orang-orang berduit saja yang bisa menguliahkan anaknya.
Apa yang ku
raih pada saat itu bukanlan mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Semuanya
butuh kerja keras dan berproses. Semuanya sudah ku rencanakan di awal. Meski tidak
kucatat dalam catatan harian namun tetap tersimpan dalam ingatan. Demi cita-cita
akhirnya keluar dari zona nyaman dengan berbekal keuangan yang seadanya aku
nekat untuk bisa kuliah. Alhamdulillah akupun bisa mengenyam pendidikan tinggi
seperti anak lain pada umumnya.
Semoga
bermanfaat.
Bengkalis, 16
Februari 2018
*Sumber
gambar: Google
No comments
Post a Comment