KETIKA EKSISTENSI PENDIDIKAN DI PERTANYAKAN
Oleh
Khairul
Azan
(Dosen STAIN Bengkalis & Ketua DPD GAMa Riau Kabupaten Bengkalis)
Kisah
tragis yang menimpa Almarhum Bapak Budi Cahyono seorang guru muda yang
mengabdikan dirinya di tanah Madura membuat kita terhentak melihat potret
pendidikan Indonesia saat ini. Sekolah tak lagi dipandang sebagai lembaga tempat
berkumpulnya manusia-manusia yang haus akan perbaikan dan pengembangan diri tetapi
tak lebih hanya perkumpulan preman yang gurunya sendiri dijadikan lawan.
Siapakah sesungguhnya yang patut dipersalahkan
melihat fonomena yang melanda dunia pendidikan saat ini, apakah orang tua,
masyarakat atau lembaga pendidikan itu sendiri. Karena jika kita surut sepuluh
tahun kebelakang tidaklah seperti sekarang ini. Tidak pernah terdengar kabar
guru dipenjara akibat menjewer telinga siswanya atau bahkan lebih ironisnya
seperti saat ini yang terjadi pada almarhum Bapak Budi Cahyono seorang guru
seni rupa di SMA Negeri 1 Torjun Sampang Madura. Memang cara guru mendidik siswanya
antara dulu dan sekarang sangat berbeda. Kalau dulu guru itu memang keras tapi
otak siswa menjadi waras. Berbeda dengan sekarang guru dan siswa menjadi teman
tapi akhlak siswa tak karuan.
Tentunya kita tidak bisa menyalahkan salah satu
diantaranya, karena pendidikan itu sistem. Namanya sistem pasti memiliki
keterkaitan antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu mari kita kembali
menyadari fungsi masing-masing baik orang tua, masyarakat dan lembaga
pendidikan. Karena ini jelas telah diatur dalam kontitusi seperti yang
termaktup dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003.
Undang-Undang tersebut menjelaskan bahwa
tanggungjawab pendidikan bukan hanya berada pada tataran dunia sekolah saja
sebagai pendidikan formal melainkan juga pada tataran keluarga sebagai
pendidikan infromal dan masyarakat sebagai pendidikan non formal. Ketiga ranah
tersebut harus saling mengisi dan memperkuat bangunan pendidikan pada anak. Disamping
itu peran serta pemerintah tak bisa dipisahkan. Pemerintah sebagai pengambil
kebijkan harus betul-betul membuat kebijakan pengelolaan pendidikan yang
berbasis pada pembentukan karakter siswa. Karena dari karakter tersebutlah ruh
pendidikan akan eksis dimasyarakat dan tujuan mulia pendidikan bisa terwujud. Disamping
itu mengapa sekarang siswa mulai berani dengan gurunya juga disebabkan
penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang masih kebablasan. Sehingga kita bisa
lihat sendiri, sedikit-sedikit HAM. Padahal
barangkali adanya Undang-Undang yang mengatur HAM tersebut sangat baik. Tapi yang
terjadi dilapangan memang tidak sesuai harapan.
Dengan demikian saatnya kita membuka mata dan
fikiran bahwa pendidikan itu bukan membunuh tapi pendidikan itu untuk manusia
bisa tumbuh. Tumbuh dengan layak dan tumbuh sesuai dengan kondratnya sebagai
makhluk yang berakhlak.
Bengkalis, 03 Februari 2018
*Sumber gambar : Google
No comments
Post a Comment