AWAL KARIRKU: SUKA DUKA MENJADI DOSEN MUDA
Oleh:
Khairul
Azan
Hari berganti hari dan proses demi proses dilalui
hingga sampailah pada suatu kondisi dimana impianku menjadi “dosen” mulai terwujud.
Dosen bukanlah cita-citaku di awal
ketika duduk dibangku sekolah. Justru aku ingin menjadi seorang bangker yang
bekerja dengan pakain rapi dan bersih dengan ruang kantor yang nyaman. Namun
seiring perjalanan waktu semuanya telah berubah, sesuatu yang tidak disukai
bahkan dibenci menjadi suatu profesi yang ditekuni dan dicintai. Ya, inilah
kehidupan yang penuh dengan teka teki yang harus dilalui. Tapi yakinlah sebaik
apapun rencana kita sebagai manusia, lebih baik lagi rencana Tuhan (Allah) yang
telah digariskan kepada setiap hambanya. Tugas kita adalah menjalaninya dengan
ikhlas agar menjadi nilai ibadah di sisi-Nya.
Perjalananku menjadi seorang dosen diawali pada
tahun dua ribu empat belas pasca mendapatkan gelar Magister Pendidikan (S2)
pada Program Studi Administrasi Pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia
(UPI) Bandung. Sesuatu yang tidak terduka muncul dihadapanku layaknya mentari
yang bersinar cerah dipagi hari memberikan semangat baru bagi seluruh mahluk
ciptaan Tuhan. Cahaya tersebut adalah disaat teman-teman seangkatan bingung
ingin kemana pasca topi toga telah di atas kepala dan gelar Magister sudah
disematkan dalam seremonial wisuda, namun tanpa dibayangkan aku ditawarkan oleh salah seorang dosen idola
di kampus almamaterku (UPI) untuk membantunya mengajar dikelas dengan posisi
asisten dosen pada jenjang S1. Tentunya bagi sebahagian orang tawaran ini
adalah sesuatu yang biasa saja namun bagiku sebagai anak perantau yang
merasakan begitu sulitnya mencari pekerjaan ini adalah tawaran yang istimewa
yang belum tentu semua orang mendapatkannya. Ya, inilah proses, meskipun hanya
asisten dosen tetapi bagiku ini adalah peluang sebagai titik awal karirku
sebagai dosen yang profesional. Karena tidak ada kesuksesan tanpa perjuangan dan
tidak ada kesuksesan pribadi tanpa campur tangan orang lain. Kesuksesan itu layaknya
meniti sebuah anak tangga yang dimulai dari paling bawah hingga satu persatu
anak tangga dilalui sampailah pada anak tangga yang paling tinggi yaitu
kesuksesan sesuai dengan apa yang telah kita tetapkan. Inilah karir kehidupan
yang selalu diajarkan oleh orang tuaku yang sangat berjasa. Disamping itu membangun
relasi juga penting dalam menggapai kesuksesan dan ililah yang penulis terapkan
dalam merintis kesuksesan ketika duduk dibangku kuliah. Siapa saja, baik sesama
teman sebaya, dengan dosen, tampan maupun jelek, cantik dan tidak cantik,
pintar dan tidak pintar. Sehingga seringkali penulis katakan bahwa membangun
relasi tidak ada kategori dan batasan. Karena pada dasarnya semuanya saling
membutuhkan dan saling mengisi atas kelemahan dan kekurangan yang dimiliki oleh
masing-masing individu. Kedua prinsip inilah yang selalu penulis pegang teguh
dalam menjalani kehidupan ke arah yang lebih baik.
Dua ribu empat belas merupakan tahun bersejarah
bagiku dalam meniti karir sebagai dosen dengan suka dan duka di dalamnya. Dimana
pada tahun tersebut usiaku genap menjadi 25 tahun. Sebagai seorang dosen usia tersebut
tentunya tebilang relatif muda, apalagi sekelas UPI yang dosennya rata-rata
bergelar Profesor dan Doktor dengan usia yang sudah berkepala empat ke atas serta
pengalaman mengajar yang tidak diragukan lagi.
Sebagai dosen muda dan pengalaman yang serba minim
serta skill mengajar yang masih dipertanyakan tentunya ini menjadi tantangan dan kegagalauan
tersendiri bagiku. Pikiran-pikiran negatif mulai menghantui ketika diperjalanan
menuju ruang kelas untuk awal mengajar. Apakah aku bisa mengajar?, Apakah
mahasiswa menghormatiku layaknya dosen senior yang mengajar?, Apakah aku tidak
grogi?, dan seterusnya. Karena setiap berhadapan dengan para mahasiswa
sebelumnya yang tidak mengenalku mereka
mengira bahwa aku bukanlah dosen. Karena penampilan dan umurku yang masih sama
seperti mereka yaitu “mahasiswa”.
Dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul dibenakku
seperti yang dijelaskan di atas sampailah aku pada satu jawaban yaitu ketika
berdiri dihadapan pintu kelas dan mengetuknya, “tok-tok” sambil mengucapakan
salam dan selamat pagi lalu membukanya. Ketika
masuk ke dalam kelas semua mahasiswa sibuk dengan dunianya sendiri seolah-olah
tidak ada dosen yang mereka takutkan dan dihargai layaknya dosen senior ketika
masuk ke ruang kelas. Ternyata ketakutanku sebelumnya benar-benar terjadi, mereka
tidak tahu bahwa orang yang sedang bediri di hadapan mereka adalah seorang
dosen yang akan mengajarnya selama satu semester kedepan bahkan sebaliknya
mereka mengira bahwa aku adalah mahasiswa senior yang mengulang pelajaran
dikelasnya. Dari kondisi tersebut aku berusaha meyakinkan mereka bahwa aku
adalah dosen dan sampailah pada suatu kondisi mereka menerimanya dan proses
belajar mengajar dimulai. Namun meskpipun mereka telah menerima kenyataan yang
terjadi tetapi proses belajar mengajar dikelas berlangsung alot dan
membosankan. Sebahagian mahasiswa sibuk dan ribut sendiri, tidak memperhatikan
apa yang saya jelaskan. Sehingga pertanyaan apakah aku bisa mengajar muncul
kembali di dalam benak. Namun itu dengan seketika bisa aku kalahkan dengan satu
kalimat “aku bisa melewatinya”, karena wajar saja bagi dosen muda dan
pengalaman yag masih minim ini bisa saja
terjadi. Pemahaman inilah yang memperkuat sehingga aku bisa menjadi seperti
ini. Singkat cerita dengan prinsip terus belajar dan belajar dari kekurangan
yang dimiliki sampailah pada kodisi mahasiswa mulai menghargai dan mulai
mengenalku bahwa aku bukanlah lagi
mahasiswa yang tidak perlu dihargai dan didengarkan. Sehingga satu semester
dilalui dengan membuahkan hasil yang memuaskan begitu juga pada semester
selanjutnya yaitu genab dua semester mengabdi di Kampus UPI Bumi Siliwangi.
Selanjutnya dengan berat hati pada tahun dua ribu
lima belas awal aku harus kembali ke daerah dengan alasan faktor keluarga dan
bentuk pengabdian diri kepada tanah kelahiranku yaitu Kabupaten Bengkalis Kota
Terubuk Negeri Junjungan. Aku mulai menjalani kembali karirku sebagai dosen di
salah satu Perguruan Tinggi Negeri kecil yaitu Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Bengkalis yang berdiri di pulau Bengkalis, dengan menjadi dosen tetap di Program Studi Manajemen
Pendidikan Islam. Mengawali karirku di STAIN Bengkalis sempat menimbulkan rasa
pesimis dengan budaya dan fasilitas yang serba minim, namun dibalik itu muncul
kepercayaan diri bahwa STAIN Bengkalis akan menjadi besar. Inilah yang
memperkuat diri hingga bertahan sampai saat ini.
Lebih lanjut, sepertinya pengalaman lama terulang
kembali. Kurang dihargai oleh mahasiswa dan bahkan tidak dikenal sehingga
sapaan abang, diacuhkan atau anggapan sebagai mahasiswa ini kembali ditemui.
Namun dengan bekal yang dimiliki dari pengbadian dikampus sebelumnya kondisi
tersebut sedikit demi sedikit bisa teratasi dan saya termasuk salah satu dosen
yang diminati oleh mahasiswa.
Berdasarkan perjalanan hidupku di atas paling tidak ada
beberapa catatan barangkali jika dinilai bermanfaat ini bisa menjadi motivasi
bagi kita semua yaitu: 1) bahwa kesuksesan butuh perjuangan dan pengorbanan dan
harus dilalui tahap demi tahap layakya meniti sebuah tangga. Oleh karena itu
seharusnyalah kuseksesan diraih dari sebuah proses bukan sesuatu yang serba
instan. Disamping itu tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini kecuali
menghadirkan nyawa seseorang, dengan artian semuanya bisa terjadi ketika kita
punya kemauan. 2) Seyogyanya dosen juga adalah pembelajar. Yang selalu belajar
dari pengalaman dan orang lain tak terkecuali dari mahasiswanya. Sehingga
muncul kalimat bahwa dosen itu belajar sambil mengajar.
Inilah secerca pengalaman mengajar yang tak
terlupakan olehku selama menjalani karir sebagai dosen, semoga menjadi
inspirasi.
No comments
Post a Comment